Kamis, 14 Oktober 2010 | By: Denny Willyanto

Salib Yesus Dipancangkan


               Ketika para algojo telah selesai menyalibkan Tuhan kita, mereka melilitkan tali-temali ke badan salaib, dan mengikatkan ujung-ujung tali ke suatu balok panjang yang dipancangkan kuat di atas tanah tak jauh dari sana; dengan bantuan tali temali ini mereka mengangkat salib. Sebagian dari mereka menahan salib, sementara yang lainnya mendorong kaki salib ke lubang yang telah dipersiapkan – Sali yang berat masuk ke dalam lubang dengan suatu hentakan yang hebat. Yesus mengerang lemah, segala luka-luka-Nya terkoyak parah dengan cara yang paling ngeri, darah memancar lagi, tulang-tulang-Nya yang setengah terlepas dari engselnya saling bertumbukan satu dengan yang lainnya. Para prajurit pembantu menggeser-geser salib agar menancap kuat ke dalam lubang, dan terlebih lagi mereka menyebabkan salib terguncang-guncang dengan memasang lima pancang sekelilingnya guna menahan salib.

                Suatu pemandangan yang mengerikan, sekaligus mempesona, menyaksikan salib diangkat tinggi di atas lautan manusia yang berkerumun di sekelilingnya; bukan saja para prajurit yang mencemooh, kaum Farisi yang puas, dan orang-orang Yahudi yang brutal saja yang ada di sana, melainkan juga orang-orang asing dari segala penjuru. Suara sorak dan teriak cemooh menggema saat mereka melihat salib diangkat tinggi-tinggi, setelah terayun-ayun sejenak di udara, salib jatuh dengan dentuman hebat ke dalam lubang yang telah disiapkan di atas bukit karang.
                Namun, pada saat yang sama, pernyataan kasih dan ungkapan belas kasihan menggema pula di udara; perlu kita katakana bahwa pernyataan-pernyataan ini, ungkapan-ungkapan ini, disampaikan oleh yang terkudus dari antara umat manusia – Santa Perawan Maria – juga Yohanes, para perempuan kudus, dan siapa saja yang berhati murni. Mereka membungkuk hormat seraya menyembah “Sabda yang Menjadi Daging,” yang dipalukan pada kayu salib; mereka mengedangkan tangan-tangan mereka, seolah rindu memberikan pertolongan kepada Yang Maha Kudus dari Yang Kudus, yang mereka lihat tergantung di salib dan ada pada kuasa musuh yang murka.
                Tetapi ketika suara khidmat dentuman salib yang jatuh ke dalam lubang di atas bukit karang terdengat, suatu keheningan yang senyap merayap, segenap hati diliputi perasaan takjub yang tak dapat diungkapkan – suatu oerasaan yang belum pernah dialami sebelumnya, dan yang tak seorangpun dapat menerangkannya, bahkan kepada dirinya sendiri.
                Segenap penghuni neraka gemetar karena ngeri, dan melampiaskan angkara murka mereka dengan berusaha membangkitkan dengki serta kebrutalan yang terlebih lagi dalam diri musuh para Yesus. Jiwa-jiwa di Limbo dipenuhi sukacita dan pengharapan, sebab suara dentuman itu merupakan pratanda kebahagiaan bagi mereka; pratanda akan munculnya Pembebas mereka.
                Demikianlah salib terberkati Tuhan kita dipancangkan untuk pertama kalinya di muka bumi; kita dapat memperbandingkannya dengan pohon kehidupan di Taman Firdaus; oleh sebab luka-luka Yesus bagaikan sumber-sumber mata air yang kudus, yang daripadanya mengalir empat mata air yang ditujukan baik untuk memurnikan dunia dari kutuk dosa maupun untuk memberinya kesuburan, agar menghasilkan buah keselamatan.
Dari: Meditasi Beata Anna Katharina Emmerick.
Diterjemahkan oleh www.yesaya.indocell.net

0 komentar:

Posting Komentar